Konsep keadilan restoratif telah diadopsi dalam beberapa peraturan, seperti Peraturan Kapolri No.6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Tapi regulasi yang ada dirasa belum cukup sebagai acuan praktik restorative justice di Indonesia.
Akademisi hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, mengatakan restorative justice adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku dan lingkungan terdampak suatu tindak pidana.
“Jadi ini bukan sekedar pemulihan berbasis hak, tapi sesuai kebutuhan terhadap korban, pelaku dan lingkungan terdampak. Lingkungan itu bisa komunitas/masyarakat,” katanya dalam webinar yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan bekerjasama dengan Indonesia Restorative Justice (IRJM), Sabtu (31/07).
Agustinus menjelaskan setidaknya ada 3 konsep keadilan restoratif. Pertama, keadilan restoratif dipandang sebagai suatu proses penyelesaian persoalan yang ditimbulkan dari suatu kriminalitas dengan cara mempertemukan korban, pelaku, dan pemangku kepentingan lainnya dalam suatu forum informal yang demokratis untuk menemukan solusi yang positif.
Bila dilakukan dengan benar, cara ini diyakini akan mengubah perilaku pelaku, pencegahan, menyadarkan para pihak akan pentingnya norma yang telah dilanggar dan memungkinkan pemulihan kepada korban lewat restitusi. (Baca: Polri Kedepankan Keadilan Restoratif Tangani Perkara Dokter Lois)
Kedua, keadilan restoratif dipandang sebagai suatu konsepsi keadilan yang mengutamakan pemulihan terhadap kerugian daripada sekadar memberikan penderitaan kepada pelakunya.
Menurut Agustinus, para pendukung konsep ini percaya ketika suatu kejahatan terjadi maka suatu yang benar harus dilakukan, khususnya tentang apa yang harus dilakukan untuk membangun kembali hubungan yang benar.
Misalnya dimasukan dalam revisi KUHP, atau bisa juga dibentuk melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Ketiga, ada yang meyakini restorative justice sebagai “way of life.” Pendukung konsep ini memandang restorative justice tidak hanya soal perubahan pendekatan terhadap kejahatan, tapi harus lebih jauh lagi yaitu dalam rangka mencapai suatu masyarakat yang adil yang hanya bisa dicapai melalui suatu transformasi untuk memahami keberadaan kita sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan lingkungan.
Agustinus menguraikan sebelum Peraturan Kapolri No.6 Tahun 2019, konsep restorative justice ada dalam Surat Edaran Kapolri No.8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Surat Edaran ini mengatur prinsip keadilan restoratif tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator.
Untuk penyelesaian perkara, edaran itu menyebut salah satunya dilakukan dalam bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari korban, perlu dimintakan penetapan hakim melalui JPU untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban dan penuntut umum. Tapi pengertian keadilan restoratif dalam edaran ini diubah melalui Peraturan Kapolri No.6 Tahun 2019, di mana masyarakat tidak menjadi bagian dalam penyelesaian kasus.
Defenisi keadilan restoratif sebagaimana Perkap yakni penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait, dengan tujuan agar tercipta keadilan bagi seluruh pihak.
Perkap No.6 Tahun 2019 fokus pada pemulihan korban, tapi tidak untuk pemulihan pelaku serta tidak ada penekanan pemulihan relasi korban dan pelaku. Targetnya tercapai perdamaian, terlepas dari substansinya. Menurut Agustinus, aturan ini hanya mengurangi beban kerja tapi tidak memulihkan relasi antara korban, pelaku, dan masyarakat.
Aturan lainnya yang mengadopsi keadilan restoratif yakni Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020. Peraturan ini mendefenisikan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Tapi ada tindak pidana yang dikecualikan dari penerapan keadilan restoratif seperti narkotika.
Peraturan Kejaksaan itu hampir sama seperti Perkap No.6 Tahun 2019 yang fokus pada pemulihan korban, tidak ada penekanan pada pemulihan relasi korban dengan pelaku. Serta targetnya tercapai “perdamaian” (terlepas dari substansinya). Dari berbagai hal tersebut, Agustinus menilai penerapan keadilan restoratif di Indonesia perlu dituangkan dalam bentuk UU atau setidaknya dalam Peraturan Pemerintah. “Bisa juga dimasukan dalam revisi KUHP,” usulnya.
Pedoman yang diatur tidak saja terkait aspek prosedural tapi juga tahapan yang dibutuhkan untuk mewujudkan rekonsiliasi dan pemulihan korban, pelaku, dan lingkungan terdampak tindak pidana. Diperlukan prosedur yang mempromosikan kemampuan warga untuk menyelesaikan persoalannya sendiri.
Peran negara melalui penyidik, penuntut umum, dan hakim terbatas sebagai fasilitator dan mentor dalam upaya mewujudkan rekonsiliasi dan pemulihan korban, pelaku, dan lingkungan terdampak tindak pidana.
Certified Mediator Pusat Pelatihan Pengembangan Pendayagunaan Mediasi (P4M), Andrea H Poeloengan, menyebut restorative justice adalah pendekatan untuk mencapai keadilan yang melibatkan seluas mungkin mereka yang memiliki kepentingan dalam pelanggaran atau kerugian tertentu yang secara kolektif (bersama) mengidentifikasi dan mengatasi kerugian, kebutuhan, dan kewajiban untuk memulihkan dan memperbaiki keadaan sebaik mungkin.
“Restorative justice ini bukan hal baru, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.
Tujuan keadilan restoratif yakni menempatkan kunci keputusan kepada mereka yang paling terkena dampak kejahatan. Menjadikan keadilan lebih memulihkan dan idealnya lebih transformatif. Mengurangi kemungkinan pelanggaran di masa depan.
Untuk mencapai tujuan itu korban dilibatkan dalam proses dan keluar dari hal (proses) tersebut dengan merasa puas. Pelaku memahami bagaimana tindakan mereka telah mempengaruhi orang lain dan bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Hasilnya dapat membantu memperbaiki kerugian yang terjadi dan mengatasi alasan terjadinya pelanggaran.
“Korban dan pelaku sama-sama merasakan ‘pengakhiran’ (masalah) dan keduanya diintegrasikan kembali ke masyarakat,” urai Andrea.