BeritaCenter.com – Penunjukkan tim seleksi calon anggota KPU-Bawaslu menjadi sorotan terkait adanya 4 unsur pemerintah di dalamnya.
Sebagaimana dikabarkan sebelumnya, diantaranya Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, mengatakan, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 22 ayat 3, disebutkan syarat tim seleksi KPU-Bawaslu terdiri atas 3 (tiga) orang unsur pemerintah; 4 (empat) orang unsur akademisi; dan 4 (empat) orang unsur masyarakat. Menurut Titi dari 11 nama tim seleksi anggota KPU yang disebut terdapat 4 unsur pemerintah yaitu dari KSP, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), serta Kompolnas (Poengky Indarty:red).
Akan tetapi, keberatan Titi ini dibantah oleh Stafsus Mensesneg, Faldo Maldini, menyatakan bahwa keberadaan Poengky Indarty di tim seleksi calon anggota KPU-Bawaslu ini merupakan perwakilan tokoh masyarakat. Pembelaan Faldo menyatakan bahwa Poengky Indarty, adalah seorang aktivis dan praktisi hukum mumpuni, yang merupakan perwakilan tokoh masyarakat yang sedang aktif menjabat di Kompolnas,
Polemik ini menjadi perhatian Indonesianis yang juga mantan Komisioner Kompolnas periode 2016-2020 Andrea H Poeloengan yang menilai perlu adanya dialog terkait hal ini.
“Polemik yang juga merupakan pertentangan yang terjadi ‘sejak awal’ seperti ini bisa menjadi sumber penyebab yang kurang baik bagi penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Dari awal sudah ada “friksi”. Maka, awalilah penyelesaian perbedaan ini dengan dialog. Dialog diyakini akan mempertemukan kepentingan yang berbeda dan saling memahami harapan dan kekhawatiran satu dengan lainnya,” ujar Andrea kepada wartawan.
Salah satu yang menjadi sorotan publik dan para aktiivis adalah terkait penunjukkan anggota Kompolnas Poengky Indarti yang disebut mewakili tokoh masyarakat. Andrea menilai saat ini status Poengky bagian dari penyelenggara pemerintah, sehingga segala hal dan kewajiban sebagai bagian pemerintah melekat di Poengky.
“Posisi Poengky walaupun wakil masyarakat dalam Kompolnas akan tetapi sejak Agustus 2020 sudah diangkat ke dua kalinya oleh Presiden sebagai Anggota Kompolnas. Poengky merupakan kolega yang kolektif kolegial dari Menkopolhukam, Mendagri dan Menkumham, bersama dua tokoh masyarakat serta tiga pakar kepolisian,” jelas Andrea.
Lebih lanjut, “Maka juridis normatif, saat ini Poengky adalah bagian dari penyelenggara pemerintahan. Segala hak dan kewajiban sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan melekat pada Poengky, temasuk melaporkan secara rutin LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Anggota Kompolnas merupakan bagian dari “delegasi” kewenangan Presiden yang terkait dengan Kebijakan Strategis dan Pengawasan Fungsional Polri,” kata Andrea.
Akan tetapi, selanjutnya Andrea menyebut, peran ganda Poengky dalam tim seleksi ini belum diatur tegas dalam Undang-undang. Hal ini lah yang dinilai dapat membuat Poengky dianggap unsur pemerintah meski disebut sebagai tokoh masyarakat, atau sebaliknya.
“Peran ganda Poengky sebagai Tokoh Masyarakat dan bagian dari Penyelenggara Pemerintahan, berdasarkan norma hukum belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan tegas. Kondisi ini yang menyebabkan apabila ada masyarakat telah menjadi bagian dari penyelenggara pemerintahan, maka dapat dipandang otomatis merupakan bagian dari pemerintah atau sebaliknya sebagian akan memandang tetap sebagaimana dia berasal sebagai masyarakat,” tuturnya.
Peran ganda Poengky juga dinilai dapat memberikan tanggapan berbeda dari masing-masing pihak. Baik pendukung maupun yang menganggap posisi Poengky berbenturan dengan aturan.
“Bagi yang mendukung dan mengklaim ‘rekam jejak baik, profesionalitas dan berintegritas’ pasti akan berkepentingan mendukung dan mempertahankan penunjukan Poengky yang dianggap bagian dari masyarakat. Sedangkan bagi yang menolak karena menganggap ada ‘benturan antara norma hukum dan norma (rasa) keadilan, etis dan kekhawatiran benturan kepentingan, bahkan independensi Timsel’ pasti akan mengkritisi dan menolak Poengky yang dianggap merupakan bagian dari pemerintahan karena suka atau tidak suka sekarang masih menjadi Anggota Aktif Kompolnas bersama ketiga Menteri tadi” kata Andrea.
“Saya coba mengkutip pendapat Hans Kelsen yang diutarakan Prof. Budiono Kusumohamidjojo dalam bukunya, bahwa jika ada problematika antara Hukum dan Keadilan yang dalam perpektif Hans Kelsen karena nilai keadilan berbeda dengan nilai hukum, maka dalam pertentangan seperti ini, norma keadilan harus diunggulkan,” sambungnya.
Norma (dan rasa) keadilan yang terlukai seperti ini, menurut Andrea perlu segera disepakati dicarikan penyelesainnya yang tidak saja hanya Legal, akan tetapi memiliki Legitimasi agar tercipta timsel ‘tanpa cacat’. Menurutnya bila dianggap dialog tidak menjadi sebagai sebuah solusi masalah, maka jalan yang dapat ditempuh melalui lembaga peradilan tata usaha negara dan Ombudsman RI.
“Legitimasi Timsel ‘tanpa cacat’ perlu segera disepakati para pemangku kepentingan yang pro dan kontra, demi melahirkan embrio penyelenggaraan Pemilu yang Pancasilais dan Demokratis. Apabila dianggap sebagai bagian dari permasalahan Tata Usaha Negara, Administrasi Pemerintahan atau Negara, bahkan Maladministrasi, maka jalur lembaga peradilan tata usaha negara dan Ombudsman RI adalah respon yang bermartabat, termasuk juga Judicial Review jika dianggap ada pertentangan peratutan perundang-undangan di bawah UU dan/atau UUD NRI 1945,” jelasnya.
“Penyelenggaraan Pemilu yang berawal dari kurangnya legitimasi sejak dini, adalah kegiatan yang mempunyai resiko dan potensi konflik tinggi, serta dapat berakibat dampak yang serius bagi keutuhan NKRI. Mumpung masih awal, masih ada waktu untuk berbicara, bangun ruang dialog dan dialog, jangan biarkan hidup api dalam sekam. Selesaikan dengan berdasar nilai-nilai Pancasila,” pungkasnya.