Jakarta: Sejumlah lembaga penegak hukum dinilai masih berbeda dalam memaknai restorative justice (keadilan restoratif). Para akademisi mengusulkan dibentuk pedoman khusus agar restorative justice diterapkan dengan baik dan tepat.
“Penerapan restorative justice di Indonesia perlu dilegitimasi dan dipedomani oleh undang-undang atau setidaknya dalam peraturan pemerintah,” kata Certified Mediator pada Pusat Pelatihan Pengembangan Pendayagunaan Mediasi (P4M) Andrea H Poeloengan dalam keterangan tertulis, Senin, 2 Agustus 2021.
Andrea mencontohkan restorative justice di kepolisian. Eks komisioner Kompolnas itu menyebut Polri memaknai restorative justice penyelesaian di luar hukum formal dan mendamaikan.
Berdasarkan hasil penelitian Kompolnas pada 2018 dan 2019, ditemukan restorative justice di Polri sebenarnya lebih kental bertujuan mengatasi tunggakan perkara. Restorative justice juga untuk menghentikan perkara yang masih dalam proses penyelidikan maupun sudah tahap penyidikan.
Di samping itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) menganggap restorative justice adalah proses menjalankan perdamaian yang ditawarkan jaksa pada perkara tertentu. Proses itu dimulai sejak perkara telah lengkap diserahkan penyidik.
Mahkamah Agung berpandangan restorative justice untuk mendamaikan para pihak melalui proses mediasi penal. Kemudian, Kementerian Hukum dan HAM beranggapan restorative justice dapat mengatasi permasalahan over capacity tahanan di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Menurut dia, berbagai pertanyaan akan timbul bila mengacu pada beragam pemahaman tersebut. Misalnya, apakah restorative justice dapat diterjemahkan upaya pragmatis untuk mengurangi beban kerja sistem peradilan pidana dan aparat penegak hukum yang bekerja di dalamnya atau tidak.
“Apakah juga kemudian penerapan restorative justice seperti itu akan otomatis relevan dalam mengurangi keadaan over capacity di lapas? Kemudian, bagaimana dengan pemulihan hubungan dan merajut kembali kesalingterhubungan yang sudah robek akibat pelanggaran hukum?” ujar Andrea.
Ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai perbedaan sikap di antara lembaga penegak hukum menjadi tantangan serius. Dia menilai perbedaan sikap ini dapat membahayakan penegakan hukum dan bisa menghancurkan keadilan.
“Walaupun aparat penegak hukum mempunyai semangat yang besar dalam penerapan restorative justice, namun jika belum terjamin konsitensi penerapan restorative justice, akan membahayakan penegakan hukum,” tutur dia.
Sementara itu, Ketua Departemen Kriminologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ni Made Martini Puteri berharap pedoman penerapan restorative justice dapat segera diwujudkan. Peraturan yang menjadi pedoman penerapan kebijakan ini harus meliputi aspek prosedural, tahapan teknis, administrasi, keterampilan, pedoman perilaku, hingga dukungan anggaran serta sarana dan prasarana (sarpras).
Penerapan restorative justice juga harus mengatur soal prosedur mempromosikan kemampuan masyarakat menyelesaikan persoalannya. “Peran negara, melalui penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menerapkan restorative justice terbatas sebagai fasilitator dan mentor dalam upaya mewujudkan rekonsiliasi dan pemulihan korban, pelaku, dan masyarakat terdampak tindak pidana,” ujar Martini.