Respectnidea.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memulai penyelidikan terkait dugaan penipuan yang mengguncang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kasus ini bermula dari PT PE yang diketahui menerima fasilitas kredit moda kerja ekspor (KMKE) antara tahun 2015 hingga 2017.
“PT PE ini mendapatkan fasilitas moda kerja ekspor sebanyak tiga kali tahun 2015, 2016, 2017,” kata Alexander Marwata selaku Wakil Ketua KPK dikutip Rabu (20/03).
Adapun total dana yang diterima mencapai USD22 juta dan Rp600 miliar, yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan niaga umum bahan bakar minyak (BBM).
Namun, dugaan penyaluran dana yang tidak sesuai prosedur menjadi sorotan utama dalam penyelidikan ini. Marwata menjelaskan bahwa komite pembiayaan diduga mengabaikan rasio keamanan dalam penyaluran dana kepada PT PE, serta terdapat indikasi penggelembungan piutang dan pemalsuan dokumen kepemilikan aset.
Hal ini menyebabkan PT PE menghadapi kesulitan melunasi pinjamannya dan akhirnya mengajukan perdata khusus terkait kepailitan pada tahun 2019.
KPK juga menyoroti keterlibatan perusahaan lain dalam dugaan penipuan ini, di mana terdapat upaya untuk mengalihkan piutang. Potensi kerugian negara mencapai angka yang signifikan, yakni sekurang-kurangnya 54.500.000 dolar atau senilai Rp766.705.455.000 dengan kursus terkini.
Pengumuman terkait kasus korupsi di LPEI ini disampaikan KPK setelah melakukan ekspose perkara pada 19 Maret 2024. Langkah ini merupakan tindak lanjut dari laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 18 Maret 2024.
Dengan demikian, KPK terus mengungkap fakta-fakta terbaru dalam kasus ini guna memastikan keadilan dan memberikan efek jera terhadap tindakan korupsi yang merugikan negara.
Lebih lanjut, dikatakan Nurul Ghufron selaku Wakil Ketua KPK, bahwa kasus dugaan korupsi ini sudah merugikan negara hingga triliunan rupiah.
“Yang sudah terhitung dari tiga koorporasi penyaluran kredit PT LPEI ini sebesar Rp 3,451 triliun,” papar Ghufron seperti dikutip Rabu (20/03).
Disambung Ghufron, adapun rincian kerugian yang mencapai R3,451 itu terdiri atas kerugian yang dialami PT PE sebesar Rp800 miliar, PT RII senilai Rp1,6 triliun dan PT SMJL yang mencapai Rp1,051 triliun.
Di lain sisi dalam laporan Sri Mulyani ke Kejagung, ada empat debitur terindikasi fraud dengan nilai outstanding mencapai Rp2,5 triliun. Adapun keempat debitur itu terdiri dari PT RII, PT SMS, PT SPV, dan PT PRS.
Baca Juga: Menghargai Keberagaman dalam Demokasi untuk Indonesia Maju