Respectnidea.com – Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan penting dengan membatalkan ketentuan mengenai ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ungkap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan dalam sidang pleno yang berlangsung di Jakarta, Kamis.
Hak Konstitusional Partai Politik yang Dilanggar
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 memberikan hak konstitusional kepada partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan risalah pembahasan pasal tersebut, penghapusan presidential threshold bertujuan untuk mengembalikan hak partai politik yang selama ini terkesan dibatasi oleh ketentuan undang-undang.
MK menilai bahwa penggunaan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya sebagai dasar untuk menentukan hak partai politik mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah tindakan yang tidak adil.
“Selain itu, partai politik baru yang lolos menjadi peserta pemilu otomatis kehilangan hak konstitusionalnya,” ujar Saldi.
Ketidakefektifan Ambang Batas dalam Penyederhanaan Politik
Mahkamah juga mempertimbangkan efektivitas dari penerapan ambang batas ini. Saldi Isra menekankan bahwa ketentuan tersebut terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Sebaliknya, hal ini justru menciptakan tantangan baru dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Lebih jauh, Saldi menyoroti bahwa angka ambang batas yang ditetapkan tidak memiliki dasar perhitungan yang rasional.
“Dalam konteks ini, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa ada potensi benturan kepentingan dalam perumusan angka tersebut,” tambahnya.
Ancaman Polarisasi Politik
MK mengungkapkan bahwa sistem presidential threshold selama ini cenderung mendorong hanya dua pasangan calon dalam setiap pemilu presiden.
Kondisi ini memicu polarisasi yang berpotensi mengancam persatuan bangsa jika tidak segera diantisipasi.
Menurut MK, penerapan ambang batas ini juga dianggap memaksakan logika sistem parlementer dalam praktik sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia.
Sebagai akibatnya, hal ini melanggar prinsip-prinsip moralitas, rasionalitas, dan keadilan dalam demokrasi.
Putusan Penting yang Mengubah Arah Demokrasi
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa presidential threshold melanggar Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Oleh sebab itu, MK mengambil langkah berani untuk mengubah pendirian mereka dibandingkan putusan sebelumnya.
“Pergeseran pendirian ini bukan hanya terkait angka atau besaran persentase ambang batas, tetapi juga pada konsep dasar bahwa rezim ambang batas itu sendiri bertentangan dengan UUD 1945,” tegas Saldi.
Namun, putusan ini tidak disepakati oleh semua hakim konstitusi. Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh menyampaikan pendapat berbeda terhadap keputusan ini.
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga sebagai Penggagas Perkara
Keputusan ini merupakan hasil dari permohonan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Dengan keberanian dan ketekunan mereka, sejarah baru tercipta dalam perjalanan demokrasi Indonesia.