Pemolisian Prediktif, pada dasarnya adalah pelaksanaan tugas kepolisian dengan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber yang berbeda dan beragam, lalu menganalisisnya dan kemudian menggunakan hasilnya untuk mengantisipasi, mencegah, dan merespons kejahatan di masa depan secara lebih efektif, yang baik sebagian atau seluruhnya menggunakan bantuan teknologi.
Di Indonesia, Pemolisian Prediktif dapat mendorong ketercukupan informasi yang holisitik, yang akan dikaji melalui berbagai sudut pandang (perspektif), yang tetap wajib mendasari pada nilai bangsa yang dianut, yaitu Pancasila dalam rangka menerbitkan kebijakan keamanan dalam negeri yang termasuk didalamnya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dengan digunakannya Pemolisian Prediktif sebagai salah satu strategi, berarti diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan tugas kepolisian menjadi kurang reaktif, akan tetapi lebih responsif-berkelanjutan-holistik dengan mendasarkan kepada prediksi-prediksi yang dibangun. Visi dalam hal Pemolisian Prediktif diharapkan dapat menggerakkan penegakan hukum dari berfokus pada apa yang terjadi, menjadi fokus pada apa yang akan terjadi dan bagaimana menyebar-dayakan sumber-sumber berbagai bentuk modal yang dimiliki, secara lebih efektif dan efisien, untuk menghadapi hal-hal yang berpotensi akan terjadi tersebut, guna berupaya untuk mengubah hasil yang akan terjadi menjadi hasil yang jauh lebih baik.
Pemolisian Prediktif tidak dimaksudkan untuk menggantikan teknik-teknik dalam pelaksaanaan tugas polisi yang sudah pernah ada dan terbukti berhasil. Akan tetapi, Pemolisian Prediktif dibangun di atas elemen-elemen penting fungsi-fungsi kepolisian dalam semua strategi pemolisian, untuk menghasilkan kebaikan dan dampak positif yang jauh lebih baik dan massif. Pemolisian Prediktif, mengintervensi segala kemungkinan negatif untuk menjadi positif, sebelum terjadinya suatu kejadian, agar ketika nantinya terjadi maka hasilnya menjadi suatu hal yang lebih baik, dengan merujuk pada data dan informasi yang holistik, kemampuan analisa yang mendalam dan tentu dengan bantuan teknologi. Dalam beberapa Batasan tertentu, Pemolisian Prediktif dapat memanfaatkan bantuan teknologi untuk menjalankan kemampuan analisa, sebagai bentuk efisiensi pemberdayaan kualitas dan kuantitas jumlah anggota kepolisian.
Dalam Pemolisian Prediktif, disepakati bahwa transparansi dan keterlibatan masyarakat itu adalah hal mendasar dan penting. Tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi, mempengaruhi tingginya keberhasilan Pemolisian Prediktif itu sendiri. Untuk itu Polisi dituntut untuk harus sangat transparan. Transparansi yang melibatkan masyarakat tersebut termasuk dalam hal pemanfaatan informasi dalam penegakan hukum, bagaimana menghubungkan “puzzles” informasi satu dengan lainnya hingga dengan penempatan petugas yang akan melaksanakannya. Seluruh diskusi ini harus terbuka dan dilakukan bersama dengan masyarakat.
Polisi tidak pada posisi untuk mengintervensi masyarakat dalam berpartisipasi pada tataran diskusi tersebut, melainkan mengakomodir pandangan tentang potensi ancaman dan kemampuan masyarakat dalam menghadapinya. Untuk itulah, dalam membangun relasi antar Polisi-Masyarakat, bahkan dengan pemangku kepentingan lainnya, paradigma Community Policing yang di Indonesia dibangun melalui Polmas sebagai strategi dan Polmas sebagai falsafah. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dengan terbitnya Peraturan Polri Nomor 1 tahun 2021 tentang Pemolisian Masayarakat yang tidak memberikan pengaturan Polmas sebagai falsafah secara signifikan (Hilang? Lenyap?), menjadi salah satu potensi ancaman dari implementasi Pemolisian Prediktif di Indonesia, bahkan berpotensi menjadi gangguan pelaksanaan program PRESISI yang diusung Kapolri saat ini, sehingga kedepannya malah akan menjadi potensi hambatan keberlanjutan pembangunan Polri yang sesuai dengan kebutuhan negara dan harapan masyarakat (dicintai). Polmas sebagai falsafah adalah sebagai landasan “berpikir”, sedangkan Polmas sebagai strategi adalah sebagai landasan “bertindak”. Apakah kemudian jika Polmas sebagai falsafah tidak mendapatkan signifikansi yang cukup dalam implementasi Pemolisian Masyarakat, akan menjadikan pelaksanaan tugas dengan “bertindak” tanpa “berpikir”?
Memang pada awalnya Pemolisian Prediktif adalah tentang upaya meramu kebijakan berbasis kepada alogaritma yang dirumuskan untuk mengantisipasi perstiwa atau kejadian ditengah masyarakat yang mengganggu pemeliharaan keamanan, ketertiban, dan kehidupan sosial kemasyarakatan dengan bersumber kepada data yang ada serta pemanfaatan teknologi. Selanjutnya, keberhasilan dari Pemolisian Prediktif akan bergantung pada seberapa andal kebijakan tersebut, bagaimana sumber informasi yang berbeda diintegrasikan, bagaimana semua data dianalisis, dengan kecepatan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan teknologi, termasuk di dalamnya kemampuan pelibatan masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya, paradigma yang menjiwa bagi mereka yang menganalisa, keterbukaan bukan sekedar informasi melainkan juga cara pandang, dan lain-lain.
Dalam melakukan penilaian untuk menerbitkan dan dalam pengimplementasian kebijakan, melalui Pemolisian Prediktif harus juga membangun self-assessment untuk menguji kebutuhan dan validiats data (informasi) yang didapat untuk menentukan dasar/landasan dan arah kebijkan yang diambil, kemudian memprediksi “perbuatan”, “kejadian (peristiwa)” dan permasalahan apa yang mungkin terjadi. Hal ini dibutuhkan dalam rangka untuk dapat memahami dan mengantisipasi berbagai macam alternatif kebijakan dan tindakan yang diambil, melalui pemanfaatan teknologi dalam melaklukan simulasinya. Kelengkapan (holistik) dan analisis yang mendalam dari semua data ini akan memberi informasi kepada pembuat keputusan yang lebih baik, untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik juga. Semua data yang didapat sangat penting untuk diintegrasikan dari sejumlah “gudang data dan hasil analisisnya” (terbangunnya “Big Data”), guna dipastikan tersedia serta merta bagi pelaksanaan tugas kepolisian. Ini merupakan penggunaan informasi oleh kepolisian dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyelamatkan nyawa, mengurangi dampak buruk dari potensi terjadinya “harm” (luka/cedera) atau ketidaknyamanan, hingga upaya meningkatkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, dalam koridor yang konstitusional, dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.
Paradigma berpikir dalam Pemolisian Prediktif harus berorientasi Forward Looking dan Out of The Box. Di Indonesia, Pemolisian Prediktif tidak cukup berjalan selaras dengan Revolusi Industri 4.0, selain wajib merujuk kepada nilai-nilai luhur Pancasila yang hidup ditengah masyarakat, tetapi harus juga telah dimulai dengan mengadaptasikan pada tujuan Revolusi Industri 5.0 (yang telah dimulai sejak 2020), yaitu teknologi menjadi sahabat bagi “user”-nya (dhi.: manusia), bukan menggantikan peran manusia, dan bersama teknologi menjadikan peningkatan kemampuan serta kualitas berpikir dan hidup manusia yang jauh lebih baik lagi.
Pemolisian Prediktif harus dapat memastikan agar dalam kehidupan terbentuk jaring kesalingterhubungan yang makin baik dan kukuh pada hubungan antar-manusia, antar- manusia dengan alam dan ciptaan Nya, serta antar-manusia dengan Sang Pencipta, sehingga kehidupan dapat menjadi lebih sejahtera dan berkualitas. Maka dalam “meramu” kebijakan melalui Pemolisian Prediktif, tidak bisa lepas dari tujuan yang diharapkan dari prinsip dasar atau hakikat Restorative Justice yaitu guna mencapai keadilan dengan cara yang melibatkan “seluas/sebanyak” mungkin pemangku kepentingan, yaitu mereka yang memiliki kepentingan dalam terjadinya sebuah pelanggaran atau kerugian tertentu, untuk secara kolektif (bersama-sama) mengidentifikasi dan mengatasi kerugian, kebutuhan dan kewajiban serta turut bertanggungwab, untuk memulihkan dan memperbaiki kesalingterhubungan dan keadaan sebaik mungkin bagi pemangku kepentingan yang dapat (realistis) dicapai saat ini (Zehr 2015, Poeloengan 2021).
Sejak kemarin, jika memang Peraturan Polri tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif terbit sebagaimana beredar pada media sosial dengan bernomor 8 tahun 2021, dengan isi dan pengaturan sebagaimana yang beredar tersebut, maka Peraturan Polri tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif tersebut juga akan menjadi salah satu potensi ancaman dari implementasi Pemolisian Prediktif di Indonesia, bahkan berpotensi menjadi gangguan pelaksanaan program PRESISI yang diusung Kapolri saat ini, sehingga kedepannya malah akan menjadi potensi hambatan keberlanjutan pembangunan Polri yang sesuai dengan kebutuhan negara dan harapan masyarakat (dicintai), sebagai akibat tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan dari prinsip dasar atau hakikat Restorative Justice.
Karena falsafah dan “ajaran” Restorative Justice ini sejalan dengan falsafah dan “ajaran” Pancasila (Sidharta:1994, Poeloengan:2009, Rachman dan Poeloengan:2013, Poeloengan:2019,2020,2021) , maka “simplifikasi” pemahaman, prinsip dasar atau hakikat Restorative Justice yang patut diduga berada pada produk yang diduga Perpol tersebut, sangat dikhawatirkan berpotensi semakin akan menjauhkan Polri yang berdasarkan, berjiwa dan menjunjung tinggi Pancasila.
(Dari berbagai sumber: Andrea H. Poeloengan, Pekalongan 17 Desember 2020, Rev Ed-1, Jakarta 21 Januari 2021. Rev Ed-2. Jakarta, 25 Agustus 2021) –
Sebagian dari tulisan ini pernah dimuat pada https://mv.beritacenter.com/news-279536-pemolisian-prediktif.html 21 Januari 2021)