Respectnidea.com – Pemerintah tengah menginisiasi pembahasan RUU pidana terkait pelaksanaan pidana mati, melalui tahap uji publik. Kegiatan uji publik diselenggarakan di Ruang Rapat Soepomo, Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM, pada hari Rabu (8/10/2025). Dipimpin oleh Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Eddy Hiariej, forum tersebut menjadi panggung awal penyusunan beleid baru yang dirancang menggantikan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964.
Menurut Eddy Hiariej, tujuan utama dari RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati adalah memastikan bahwa pelaksanaan hukuman mati tetap berada dalam koridor jaminan hak asasi manusia, sekaligus selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Ia menyampaikan bahwa RUU ini dimaksudkan untuk “memberikan jaminan perlindungan bagi terpidana mati berdasarkan pada prinsip hak asasi manusia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.”
RUU ini telah ditempatkan sebagai prioritas legislasi tahun 2025, berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 23/DPR RI/I/2025-2026 terkait perubahan Prolegnas 2025–2029 dan Perubahan Kedua Prolegnas Prioritas Tahun 2025. Dengan status tersebut, setelah pembahasan lebih lanjut dan paraf dari kementerian/lembaga terkait, RUU akan diajukan ke Presiden bersama dengan RUU Penyesuaian Pidana.
Dibandingkan dengan regulasi lama, rancangan ini menghadirkan sejumlah pembaruan signifikan mengenai hak, kewajiban, dan persyaratan bagi narapidana terpidana mati. Dari sisi hak, RUU mengadopsi prinsip yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Dengan demikian, terpidana mati akan memperoleh hak untuk bebas dari penggunaan alat pengekangan yang berlebihan, mendapatkan fasilitas hunian yang layak, berkomunikasi dengan keluarga atau kerabat setelah penetapan pelaksanaan pidana mati, serta mengajukan permohonan lokasi pelaksanaan maupun tata cara penguburan.
Adapun persyaratan yang diajukan dalam RUU antara lain: selama masa percobaan, terpidana mati tidak boleh menunjukkan perilaku tercela atau perbuatan yang melanggar norma; pelaksanaan hukuman dilakukan hanya ketika tidak ada harapan pembaruan atau sudah melalui masa tunggu; dan kondisi bahwa terpidana telah mengajukan grasi namun grasi tersebut ditolak, serta dinyatakan sehat jasmani dan rohani.
Selain itu, RUU membuka kemungkinan pembahasan metode pelaksanaan pidana mati selain melalui eksekusi tembak. Eddy menyebut bahwa rancangan akan mempertimbangkan metode lain seperti injeksi atau kursi listrik. Ia mengungkapkan, “Mungkin secara ilmiah bisa dipertimbangkan, yang mendatangkan kematian paling cepat itu apakah dengan kursi listrik atau dengan tembak mati atau dengan injeksi … kenapa tidak dikasih pilihan, ini yang bisa kita diskusikan.”
Upaya reformasi ini menjadi titik perhatian penting dalam ranah kementerian hukum dan parlemen. Banyak aspek yang harus dibahas matang, terutama agar pelaksanaan pidana mati tetap berada dalam bingkai supremasi hukum, transparansi prosedural, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. J
ika disetujui dan disahkan, RUU ini akan menggantikan peraturan lama yang telah berlaku sejak era presiden Soekarno, membawa instrumen baru terkait tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia.



