Respectnidea.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap skandal besar yang melibatkan tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus dugaan suap terkait putusan ontslag perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).
Pengaruh kasus ini bukan hanya mencoreng institusi peradilan, tetapi juga mempertegas urgensi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ketiga hakim yang menjadi tersangka adalah Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharudin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM).
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi persnya menyatakan bahwa dugaan suap ini berawal dari permintaan korporasi untuk memuluskan perkara dengan vonis bebas (ontslag). “Permintaan itu diiringi dengan janji uang senilai Rp20 miliar untuk meloloskan perkara tersebut,” ujar Qohar.
Proses suap bermula dari kesepakatan antara Ariyanto (AR), seorang advokat yang mewakili korporasi terkait, dan Wahyu Gunawan (WG), panitera muda perdata PN Jakarta Utara. WG kemudian menyampaikan permintaan tersebut kepada Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Permintaan awal sebesar Rp20 miliar ternyata digandakan oleh MAN menjadi Rp60 miliar.
Dana sebesar Rp60 miliar dalam mata uang dolar AS akhirnya diserahkan AR kepada WG. Selanjutnya, uang itu diberikan kepada MAN, yang kemudian menunjuk tiga hakim, yaitu DJU, ASB, dan AM, sebagai majelis hakim dalam perkara ini. “Tersangka DJU ditunjuk sebagai ketua majelis, sementara ASB dan AM bertugas sebagai anggota,” jelas Qohar.
Menurut Kejaksaan Agung, MAN menyerahkan uang dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp4,5 miliar digunakan untuk membaca berkas perkara.
Tahap kedua senilai Rp18 miliar dibagi antara ketiga hakim. Rinciannya, Rp6 miliar untuk DJU, Rp4,5 miliar untuk ASB, dan Rp5 miliar untuk AM. Uang tersebut diberikan dengan tujuan agar perkara ini diputus bebas sesuai permintaan.
Putusan bebas (ontslag) untuk perkara korporasi minyak goreng ini akhirnya dijatuhkan pada 19 Maret 2025. Kejaksaan Agung mengungkap bahwa hakim majelis mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut sejak awal, menjadikan mereka bagian integral dari praktik suap ini.
Atas perbuatannya, ketiga hakim didakwa melanggar Pasal 12 huruf c dan b, serta beberapa pasal lain dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021. Total tersangka dalam kasus ini kini mencapai tujuh orang, termasuk WG, AR, MS (advokat lain), dan MAN.
Skandal ini mencerminkan kompleksitas korupsi di sektor peradilan, terutama terkait hubungan antara advokat, panitera, dan hakim. Pengungkapan aliran dana suap ini menjadi bukti bahwa reformasi hukum harus terus diperjuangkan agar keadilan tetap tegak berdiri.
Dengan jumlah tersangka yang terus bertambah, kasus ini menjadi pengingat penting bahwa korupsi tidak hanya merugikan institusi, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan di Indonesia.



